Keroncong Indonesia: Identitas dan Sejarahnya
oleh: Prof. Dr. Victor Ganap, M.Ed
Makalah disampaikan pada Seminar Rembug Keroncong Indonesia 31 Mei 2014
(Dokumentasi RKI 2014: Parto Kerontjongers Indonesia)
Pendahuluan
Tulisan ini membahas tentang sejarah
keroncong Indonesia, musik perkotaan yang lahir dari interaksi budaya sejak masa
Hindia Belanda. Sejarah keroncong berawal dari kampung Tugu di Jakarta Utara,
yang dihuni oleh sekelompok komunitas Tugu sejak tahun 1661. Mereka diyakini mewarisi
budaya musik baru yang berasal dari bangsa Arab Moor bernama Moresco, yang
kemudian berkembang menjadi musik keroncong. Di antara masa kedatangan Portugis
ke Sunda Kelapa pada tahun 1513 dan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, sejarah
menunjukkan bahwa: (1) Belanda menguasai kepulauan Nusantara dan mendirikan pemerintahan
kolonial Hindia Belanda sejak tahun 1619; (2) Pemerintah Hindia Belanda memberikan
patronasi terhadap pertunjukan dan perlombaan keroncong pada Pasar Malam di
Batavia dan Soerabaja; (3) Siaran radio Hindia Belanda menayangkan musik
keroncong dari waktu ke waktu. Latar belakang sejarah keroncong hingga mencapai
identitasnya sebagai musik Indonesia saat ini, tidak dapat dipisahkan dari keberadaan
komunitas Tugu. Pemahaman tentang sejarah keroncong merupakan temuan penting,
karena menggambarkan proses evolusi dari sebuah bentuk kreatif yang berhasil
menggabungkan berbagai elemen budaya Timur dan Barat.
Sejauh
ini amat sedikit tulisan tentang keroncong yang pernah ditulis oleh para pakar
musikologi. Pendapat mereka menjadi referensi penting bagi upaya untuk menegakkan
legitimasi keroncong. Referensi yang utama disajikan oleh peneliti Australia
bernama Bronia Kornhauser, yang melakukan penelitian tentang keroncong di
Indonesia pada tahun 1973. Ia mengakui bahwa Tugu memiliki keunikan tersendiri
dalam sejarah keroncong, sebagai pelopor berlangsungnya interaksi budaya
Portugis di Indonesia. Ia meyakini bahwa Tugu merupakan tempat asal kelahiran
keroncong yang musiknya sudah mulai terdengar di sana sejak 315 tahun yang lalu
(Kornhauser 1978:176).
Dalam penerbitan sebelumnya, peneliti
Indonesia
asal Belanda bernama Bernard Ijzerdraat alias Surja Brata meyakini bahwa
keroncong memiliki akarnya yang kuat sebagai musik perkotaan Jakarta. Namun ia
juga berketetapan bahwa sejarah keroncong itu sendiri berasal dari kampung Tugu
(Brata 1968:42). Sementara
itu peneliti Amerika bernama Judith Becker menegaskan bahwa keroncong adalah
musik populer yang sentimental dan dikenal di seluruh pelosok Indonesia. Ia membenarkan
bahwa keroncong dibawa ke Indonesia sejalan dengan kedatangan bangsa Portugis pada
abad ke-16 (Becker 1976:14).
Referensi yang penting juga datang dari peneliti Portugis
bernama Antonio
Pinto Da França, yang pernah menjadi Konsul Portugal di Jakarta tahun 1960-an.
Ia menegaskan
bahwa komunitas Tugu berhasil meraih
kedudukan terhormat di Batavia pada abad ke-18 dan ke-19. Meski pemerintah kolonial Belanda memaksakan agama
baru bagi mereka, namun kesadaran akan jiwa dan semangat keportugisan mereka
tetap hidup, karena melalui mereka Moresco
sebagai peninggalan bangsa Moor di Portugal itu diperkenalkan, yang juga mengingatkan saya pada Cafrinho, nyanyian
Cape Verde yang
dibawa ke Portugal (Da
França 1970:22).
Musik
keroncong tumbuh dan berkembang
sebagai bagian dari kekayaan budaya yang diwariskan secara turun temurun dalam
sejarah musik Indonesia. Pemaparan tentang sejarah keroncong di Indonesia tidak
akan bersambung menjadi sebuah mata rantai yang seutuhnya, tanpa meneliti sejarah
keberadaan komunitas Tugu dalam melahirkan musik keroncong di kampung Tugu,
jauh sebelum keroncong diterima dan menjadi milik bangsa Indonesia.
Pembahasan
Keroncong
merupakan salah satu aliran utama dalam musik Indonesia. Penelusuran terhadap latar
belakang sejarahnya diawali dari kedatangan bangsa Portugis pertama kali ke
Sunda Kelapa pada tahun 1513, dalam pelayaran mereka dari Malaka ke Maluku
untuk mencari rempah-rempah (Cortesão 1944:172). Portugis mendirikan loji-loji
mereka di Maluku yang dijaga oleh para laskar Portugis asal Goa, India yang
bermarkas di pulau Banda. Pada tahun 1620an setelah kekuatan armada Portugis di
Maluku dikalahkan oleh Belanda, sebuah kapal karam di lepas pantai Batavia
beserta awak kapal para laskar Goa dengan keluarga mereka asal Banda. Mereka
ditangkap oleh Belanda, namun setelah bersedia berpindah agama dari Katolik
menjadi Protestan, mereka dibebaskan dan dibuang ke kampung Tugu pada tahun
1661 (Brata 1968:42). Mereka merupakan generasi pertama komunitas Tugu yang mendiami kampung
Tugu, dan sebagai bentuk penghargaan, Belanda membangun sebuah gereja untuk
mereka (Heuken 1997: 134).
Nama
Tugu berasal dari prasasti abad ke-5 peninggalan kerajaan Hindu Tarumanegara
yang ditemukan di kampung Tugu, sementara tugu itu sendiri berarti monumen (Heuken,
132). Sebagian penduduk percaya bahwa nama Tugu adalah cuplikan dari
Por-Tugu-ese sebagai kampung yang dihuni oleh keturunan Portugis (Abdurachman &
Kartakusumah 1992:1).
Komunitas
Tugu asal Goa, India merupakan pendukung budaya Portugis, dalam arti mereka
tidak hanya mempertahankan bahasa Portugis cristão,
namun juga peninggalan musik Portugis dalam bentuk nyanyian Moresco dan Cafrinho, serta keahlian dalam membuat gitar Portugis. Letak
kampung Tugu yang terisolasi dari kota Batavia mendorong komunitas Tugu untuk
menghidupkan kembali musik Portugis yang mereka miliki. Mereka berhasil membuat
gitar Tugu yang diadaptasi dari gitar Portugis cavaquinho
membentuk sebuah ensambel yang terdiri dari tiga jenis gitar macina, prounga,
dan jitera, masing-masing berdawai lima, dengan dawai di tengah yang lebih
tebal disebut bordang. Ensambel Tugu ini berhasil menghidupkan musik Moresco, yang mengingatkan akan peninggalan
musik dan tari Moor pada abad ke-13, ketika mereka meninggalkan Portugal
setelah turun temurun bermukim di sana sejak abad ke-8. Demikian pula halnya
dengan musik Cafrinho, peninggalan
musik dan tari para budak kulit hitam dari Cape Verde yang dibawa ke Portugal
pada abad ke-14. Ketika para pelaut Portugis berlayar ke timur mencari dunia
baru, mereka membawa cavaquinho dan
keahlian menyanyikan Moresco dan Cafrinho, yang berhasil mereka wariskan
pada orang Goa di India. Portugis menjadikan Goa sebagai kota Roma di Timur, membangun
banyak katedral untuk umat Katolik Goa beribadah. Menurut undang-undang Portugal,
siapa saja yang beragama Katolik berhak menjadi warganegara Portugis. Untuk itu
banyak orang Goa yang kemudian direkrut sebagai laskar Portugis. Jiwa seni yang
dimiliki orang Goa pada umumnya membuat mereka mampu berbahasa Portugis, menari
dan menyanyikan Moresco dan Cafrinho Portugis, serta membuat gitar
Portugis. Demikian pula, para laskar Portugis asal Goa memiliki kesetiaan yang
mendalam terhadap jatidiri keportugisan mereka, sehingga menjadi prajurit yang
terpercaya untuk menjaga loji-loji Portugis di Maluku.
Gitar Tugu mengalami perubahan nama,
karena fungsinya sebagai pengiring, sehingga bunyi “crong” menjadi dominan, dan
selanjutnya dinamakan keroncong. Sejalan dengan popularitas gitar ukelele dari Hawaii yang berdawai empat,
maka ensambel gitar Tugu mengalami penyesuaian bentuk orkestrasi, sehingga
macina menjadi cuk, prounga menjadi cak, dan jitera menjadi mandolin, yang
dilengkapi dengan biola, gitar, cello petik, dan rebana.
Para
peneliti menduga bahwa musik keroncong pertama kali lahir di Maluku bersamaan
dengan kedatangan laskar Portugis yang membawa cavaquinho ke sana, dan dalam waktu singkat diterima oleh penduduk
lokal. Penelitian lain menyimpulkan bahwa popularitas musik keroncong pada awal
abad ke-20 bukanlah berasal dari Maluku, melainkan dari kampung Tugu. Dari
sanalah Moresco dan Cafrinho dilahirkan kembali, yang
kemudian menyebar ke Batavia dan kota besar lainnya yaitu Soerabaja (Ganap
2011:16).
Moresco menjadi lagu utama dalam setiap
pertunjukan keroncong di Pasar Gambir, selain juga dalam perlombaan (concours) keroncong yang diselenggarakan
tiap bulan Agustus untuk merayakan penobatan Ratu Belanda Wilhelmina. Notasi Moresco pertama diterbitkan dalam buku
yang ditulis oleh A. Th. Manusama tahun 1919, dalam tempo moderato con amore, dengan introduksi dan kalimat awal yang sulit
dinyanyikan.
Melodi awal
dari Moresco transkripsi Manusama
(Manusama
1919:4a)
Moresco dengan nada tertinggi mencapai E3-D3-B2 dinyanyikan dengan
suara falsetto, sebagai adaptasi dari
suara nasal penyanyi perempuan Moor yang tidak boleh membuka mulut lebar-lebar di
hadapan publik sesuai syariat Islam. Namun penyanyi Portugis tidak dapat menirukan
suara nasal, sehingga mereka menggunakan teknik falsetto. Ketika Moresco diperkenalkan
di Hindia Belanda, penyanyi pribumi dipaksa falsetto
hingga menjerit meski sebenarnya mereka terbiasa dengan suara nasal sesuai
tradisi lokal.
Lirik
Moresco mengekspresikan suasana melankolik
dari fado Portugis, berupa nyanyian despedida (lagu perpisahan) dan saudade
(lagu kerinduan) yang juga mewarnai lirik Melayu dari lagu keroncong selama
periode Hindia Belanda. Moresco pada
awalnya dinyanyikan dalam bahasa Portugis cristão,
namun setelah keroncong menjadi popular di Batavia pada akhir abad ke-19, liriknya
dinyanyikan dalam bahasa Melayu, karena pemerintah Hindia Belanda tidak memberikan toleransi terhadap semua
peninggalan budaya Portugis.
Lirik lagu keroncong pada masa Hindia Belanda memiliki
kualitas melankolik seperti halnya Moresco,
yang menggambarkan hubungan antar manusia dari berbagai bangsa, ras, agama, dan
budaya. Orkestrasi keroncong menegaskan fungsinya sebagai iringan musik dengan
pola ritmiknya yang khas melalui petikan cello, diperkaya dengan permainan akor
dari cuk, cak, dan gitar, sehingga fungsi biola dan flute lebih banyak
membawakan kontra-melodi dan melodi pengisi.
Pada
awal abad ke-20, ketika proses asimilasi keroncong sebagai musik perkotaan mulai berjalan, banyak
orkes keroncong bermunculan di Batavia. Sebagai wilayah yang terdekat dari
kampung Tugu, kampung Bandan dan kampung Kemajoran merupakan sentra keroncong
yang pertama di Batavia. Keroncong Bandan didukung oleh para nelayan Banda yang
dibuang ke Batavia dari kampung halaman mereka sejak abad ke-17 dengan lagu
utamanya Prounga. Namun nasib
keroncong Bandan tidak beruntung seperti halnya keroncong Kemajoran, yang
didukung oleh komunitas Indo-Belanda di sana. Salah satu orkes keroncong Kemajoran
menamakan diri De Krokodilen (buaya), tampil
sebagai pemusik berkeliling dengan penampilan busana dan perilaku yang menimbulkan keresahan para orangtua yang
kuatir anak gadis mereka akan tergila-gila. Sejak itu pemusik yang gila bermain
keroncong memperoleh julukan sebagai “buaya keroncong” (Tambayong 2000:74).
Keroncong
sebagai musik perkotaan di Batavia dapat bertahan dan mencapai popularitas disebabkan
karena: (1) keroncong adalah jenis musik baru yang bukan klasik Barat maupun
gamelan lokal; (2) patronasi yang diberikan pemerintah Hindia Belanda terhadap
pemusik keroncong untuk tampil di publik; (3) dukungan komunitas Indo-Belanda
yang merasa cocok dengan musik keroncong, karena sesuai dengan selera
masyarakat perkotaan yang egaliter; (4) pembuatan gitar keroncong sebagai produk pengrajin Tugu yang memperoleh pangsa pasar dari
kelompok orkes keroncong yang terdapat di tiap sudut kota, maupun para pemusik
jalanan.
Pada awal
abad ke-20, keroncong juga mulai menyebar dari Batavia ke Soerabaja, yang
dimanfaatkan oleh sebuah teater komedi bangsawan yang menggelar pertunjukan
mereka bertemakan kisah dari Timur Tengah. Dalam pertunjukan itu, lagu-lagu
Portugis digubah sebagai overture atau
entr’acte, selain menjadi pengiring
pemain sandiwara dalam berperan, menari, bernyanyi dan berkomedi. Ketika teater
komedi itu tidak lagi ditampilkan, musik dan lagu keroncongnya tetap
dinyanyikan dengan nama Stambul Keroncong, dalam bentuk instrumental maupun
lagu-lagu Stambul.
Kota Soerabaja pada masa Hindia
Belanda juga dikenal dengan Pasar Malam Jaar
Markt yang menampilkan pertunjukan dan perlombaan keroncong. Pada tahun
1933, Kusbini dari Jogjakarta menuliskan notasi Moresco gubahannya sendiri, setelah ia acapkali menyaksikan
pertunjukan dan perlombaan keroncong di Soerabaja yang menampilkan Moresco. Gubahan Kusbini ditulis dalam
tempo andante dengan melodi yang
berbeda dari Moresco versi Manusama,
namun memiliki karakter yang sama dalam penggunaan motif setengah nada yang
menjadi ciri khas sebuah melodi Moresco.
Sejarah mencatat bahwa upaya Kusbini menggubah Moresco merupakan momentum yang amat penting dalam proses
indonesianisasi musik keroncong. Kusbini melalui karyanya lagu Keroncong Moritsku telah meletakkan dasar bagi lahirnya keroncong sebagai
musik Indonesia melalui keberagaman unsur pembentuknya.
Melodi
awal dari Keroncong Moritsku gubahan Kusbini
(Kusbini,
1972:41)
Djikalau tuan mendengarkan ini, haraplah supaja, senang di hati
Aaai, memetik gitar, sambil bernjanji, membikin pendengar gembira di
hati
Aaai, Krontjong Moritsku aku dendangkan, agar hati rindu
mendjadi gembira
Kusbini menciptakan Moresco dalam bentuk Keroncong Asli
sepanjang 28 birama yang diulang kembali dari awal (da capo aria) diselingi dengan interlude instrumental sepanjang 2-3
birama. Orkestrasi dan gaya permainan bentuk Keroncong Asli yang merupakan refleksi
dari struktur gamelan Jawa menjadi faktor penentu bagi penetapan jatidiri
keroncong sebagai musik Indonesia. Moresco
menjadi prototipe dari lagu-lagu Keroncong Asli yang kemudian banyak diciptakan
setelah Kusbini. Secara musikologis, Keroncong Asli merupakan satu-satunya
bentuk iringan dengan kemandirian bahasa musikal, dalam mendukung ekspresi
vokalis secara verbal.
Namun sejarah mencatat pula bahwa
selama masa pendudukan Jepang, keroncong pernah dilarang untuk tampil, karena
liriknya yang bersifat menghibur tuan-tuan Belanda, di saat kekaisaran Jepang
melalui lembaga kebudayaan rakyat Keimin
Bunka Shidosho tengah giatnya melancarkan kampanye anti Sekutu. Beruntung
bahwa penguasa militer Jepang menemukan Langgam Keroncong Bengawan Solo yang ditulis oleh Gesang di Surakarta pada tahun 1940,
yang liriknya bersifat pastoral menggambarkan keindahan sungai Bengawan Solo.
Setelah usai perang, para serdadu Jepang yang telah hafal menyanyikan lagunya dalam
lirik bahasa Jepang kemudian membawa pulang lagu itu ke tanah air mereka, dan
hingga kini lagu Bengawan Solo
dikenal luas oleh masyarakat Jepang. Berbeda dengan Keroncong Asli, Langgam
Keroncong berbentuk pantun, namun tetap didukung orkestrasi keroncong dengan
pola ritmiknya yang baku, yang menegakkan fungsi generik keroncong sebagai
musik pengiring.
Penutup
Lahirnya keroncong merupakan sebuah fenomena interaksi budaya dengan
latar belakang kesejarahannya yang unik dan panjang, melibatkan berbagai kultur
dan kurun secara diakronik dan sinkronik, yang bersumber dari dua kata kunci,
yaitu cavaquinho dan Moresco. Menurut catatan sejarah,
puluhan ribu gitar cavaquinho telah
dibawa berlayar oleh para pelaut Portugis
untuk menemukan dunia baru, dan memperoleh nama yang berbeda-beda.
Ketika dibawa ke Kepulauan Madeira, gitar itu disebut braguinha, karena berasal dari distrik Braga di Portugal. Ketika
tiba di Brazil dinamakan machete,
karena bentuknya yang lebih kecil dari gitar pada umumnya. Di Karibia dinamakan
cuatro, karena berdawai empat. Di
Hawaii dinamakan ukelele, karena
dimainkan dengan lompatan jari. Selanjutnya di Indonesia dinamakan keroncong, karena berbunyi “crong”
apabila dimainkan. Uniknya adalah sejalan dengan menghilangnya cavaquinho di Portugal, dari Hawaii
gitar itu muncul kembali dan mendunia (Castelo-Branco, 2002:197).
Sedangkan Moresco adalah tarian Arab Moor Islam yang diiringi musik gambus al ud dan rebana selama lima abad di
selatan Portugal, yang kemudian diterima dan menjadi milik orang Portugis
Katolik. Moresco lalu diperkenalkan
pada orang Goa di India, dan lahir kembali di Kampung Tugu, yang akhirnya menjadi
keroncong Indonesia, sebagai sosok hibrida yang unsur pembentuknya merupakan hasil
percampuran budaya Portugis, Belanda, Cina, India, Sunda, Jawa, Ambon, dan
Betawi.
Keroncong Indonesia merupakan musik
peninggalan sejarah dengan karakteristik sebagai berikut: (1) lahir dari
ensambel keroncong komunitas Tugu di Jakarta; (2) bentuk orkestrasi dengan
warna dawai cuk, cak, gitar, mandolin, biola, dan cello yang dominan; (3) teknik
seni iringan menurut pola ritmik tertentu yang menempatkan vokalis pada posisi
utama; (4) gaya penampilan coração (dari
dalam hati), yang memberikan kebebasan kepada vokalis untuk berekspresi melalui
nada-nada hiasan (cengkok) dan tempo
yang tertahan (nggandul); (5) repertoar
baku Kr.Moritsku untuk jenis
Keroncong Asli dan Lgm.Bengawan Solo
untuk jenis Langgam Keroncong.
Pengertian istilah keroncong telah mengalami
perkembangan menurut situasi dan kondisi di Indonesia, sehingga menjadikan
bangsa Indonesia memiliki hak atas kekayaan intelektual musik keroncong melalui
pertimbangan sebagai berikut: (1) keroncong sebagai alat musik sejenis gitar
lahir di Indonesia; (2) keroncong sebagai sebuah bentuk ensambel musik
merupakan produk bangsa Indonesia; (3) keroncong sebagai sebuah pola ritmik
yang khas merupakan hasil kreasi bangsa Indonesia; (4) keroncong sebagai sebuah
permainan melodi yang mengalir (banyu
mili) merupakan keberhasilan musikalitas ganda bangsa Indonesia; (5)
keroncong sebagai jenis musik hiburan masyarakat perkotaan merupakan diakroni
sejarah bangsa Indonesia; (6) keroncong sebagai musik hibrida dengan unsur
pembentuknya yang multikultural mencerminkan kebhinekaan bangsa Indonesia; (7) keroncong
merupakan istilah Indonesia untuk menamakan jenis musik milik bangsa Indonesia;
(8) pengakuan dari para pakar musikologi akan kepemilikan Indonesia terhadap
musik keroncong.
Memasuki abad ke-21 keroncong dapat
menatap masa depannya yang cerah melalui dukungan masyarakat dan media massa
secara berkelanjutan, berdasarkan fakta tentang: (1) ketahanannya yang telah
teruji selama berabad-abad; (2) keunikannya sebagai sebuah genre musikal hasil
perpaduan budaya Timur dan Barat; (3) fleksibilitasnya dalam mengakomodasi
berbagai warna lokal; (4) keunggulannya dalam memenuhi tuntutan zaman melalui
revitalisasi; (5) kemampuannya sebagai musik hiburan yang senantiasa dirindukan
oleh para pendukungnya; dan (6) orkestrasinya yang disusun dalam berbagai
format tanpa meninggalkan spesifikasinya. Sejarah telah membuktikan bahwa
melalui prosesnya yang panjang dalam beradaptasi dan berasimilasi, musik
keroncong Indonesia akan tetap terdengar sepanjang masa.
Kepustakaan
Abdurachman &
Kartakusumah. 1992. “Keroncong
Tugu”. Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI.
Becker, Judith. 1976. “Kroncong,
Indonesian Popular Music”. Asian Music,
VII/1, 14-19.
Brata, Surja. 1968. “Musik Djakarta”. Budaja Djaja, I/1, 39-46.
Castelo-Branco, Salwa
El-Shawan. 2002. “Portugal”. Stanley Sadie (Ed.). The New Grove Dictionary
of Music and Musicians. Vol.20. London: Macmillan Publishers, 191-202.
Cortesão, Armando. 1944. The Suma Oriental of Tomé Pires: an Account of the East, written in Malacca and India in 1512-1515. London: The
Hakluyt Society.
França, Antonio Pinto Da. 1970. Portuguese Influence in Indonesia.
Lisbon: Calouste Gulbenkian Foundation, in cooperation with Gunung Agung Ltd.
Ganap, Victor. 2011. Krontjong
Toegoe. Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta.
Haan, Frederik de. 1922. Oud Batavia. Batavia: G. Kolff & Co.
Heins, Ernst. 1976. “Kroncong
and Tanjidor: Two Cases of Urban Folk Music in Jakarta”. Asian
Music, VII/1, 20-29.
Heuken, Adolf. 1997. Tempat-tempat
Bersejarah di Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka.
Kleden-Probonegoro,
Ninuk. 1996. Teater Lenong Betawi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Tradisi Lisan.
Kornhauser, Bronia. 1978. “In Defence of Kroncong”. Margaret J.
Kartomi (Ed). Studies in Indonesian Music. pp. 104-183. Centre
of Southeast Asian Studies, Monash University.
Kusbini. 1972. “Krontjong Indonesia”. Musika, Jurnal Musikologi
dan Koreografi. 1,
20-42.
Manusama, A. Th. 1919. Krontjong: als muziekinstrument, als melodie
en als gezang. Batavia: Boekhandel G.
Kolff & Co.
Ricklefs, Merle C. 1991.
Sejarah Indonesia Modern. Dharmono
Hardjowidjono (Terj.) Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Sachs,
Curt. 1963. World History of The Dance. Bessie Schönberg (Terj.). New
York: W.W. Norton & Company Inc.
Saidi,
H. Ridwan. 2001. Babad Tanah Betawi. Jakarta: Gria Media Prima.
Soekiman,
Djoko. 2000. Kebudayaan Indies.
Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya
Tidak ada komentar untuk "Keroncong Indonesia: Identitas dan Sejarahnya"
Posting Komentar