Keroncong Indonesia: Identitas dan Sejarahnya


oleh: Prof. Dr. Victor Ganap, M.Ed
Makalah disampaikan pada Seminar Rembug Keroncong Indonesia 31 Mei 2014
(Dokumentasi RKI 2014: Parto Kerontjongers Indonesia)



Pendahuluan
            Tulisan ini membahas tentang sejarah keroncong Indonesia, musik perkotaan yang lahir dari interaksi budaya sejak masa Hindia Belanda. Sejarah keroncong berawal dari kampung Tugu di Jakarta Utara, yang dihuni oleh sekelompok komunitas Tugu sejak tahun 1661. Mereka diyakini mewarisi budaya musik baru yang berasal dari bangsa Arab Moor bernama Moresco, yang kemudian berkembang menjadi musik keroncong. Di antara masa kedatangan Portugis ke Sunda Kelapa pada tahun 1513 dan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, sejarah menunjukkan bahwa: (1) Belanda menguasai kepulauan Nusantara dan mendirikan pemerintahan kolonial Hindia Belanda sejak tahun 1619; (2) Pemerintah Hindia Belanda memberikan patronasi terhadap pertunjukan dan perlombaan keroncong pada Pasar Malam di Batavia dan Soerabaja; (3) Siaran radio Hindia Belanda menayangkan musik keroncong dari waktu ke waktu. Latar belakang sejarah keroncong hingga mencapai identitasnya sebagai musik Indonesia saat ini, tidak dapat dipisahkan dari keberadaan komunitas Tugu. Pemahaman tentang sejarah keroncong merupakan temuan penting, karena menggambarkan proses evolusi dari sebuah bentuk kreatif yang berhasil menggabungkan berbagai elemen budaya Timur dan Barat.
Sejauh ini amat sedikit tulisan tentang keroncong yang pernah ditulis oleh para pakar musikologi. Pendapat mereka menjadi referensi penting bagi upaya untuk menegakkan legitimasi keroncong. Referensi yang utama disajikan oleh peneliti Australia bernama Bronia Kornhauser, yang melakukan penelitian tentang keroncong di Indonesia pada tahun 1973. Ia mengakui bahwa Tugu memiliki keunikan tersendiri dalam sejarah keroncong, sebagai pelopor berlangsungnya interaksi budaya Portugis di Indonesia. Ia meyakini bahwa Tugu merupakan tempat asal kelahiran keroncong yang musiknya sudah mulai terdengar di sana sejak 315 tahun yang lalu (Kornhauser 1978:176).
            Dalam penerbitan sebelumnya, peneliti Indonesia asal Belanda bernama Bernard Ijzerdraat alias Surja Brata meyakini bahwa keroncong memiliki akarnya yang kuat sebagai musik perkotaan Jakarta. Namun ia juga berketetapan bahwa sejarah keroncong itu sendiri berasal dari kampung Tugu (Brata 1968:42). Sementara itu peneliti Amerika bernama Judith Becker menegaskan bahwa keroncong adalah musik populer yang sentimental dan dikenal di seluruh pelosok Indonesia. Ia membenarkan bahwa keroncong dibawa ke Indonesia sejalan dengan kedatangan bangsa Portugis pada abad ke-16 (Becker 1976:14).
            Referensi yang penting juga datang dari peneliti Portugis bernama Antonio Pinto Da França, yang pernah menjadi Konsul Portugal di Jakarta tahun 1960-an. Ia menegaskan bahwa komunitas Tugu berhasil meraih kedudukan terhormat di Batavia pada abad ke-18 dan ke-19. Meski pemerintah kolonial Belanda memaksakan agama baru bagi mereka, namun kesadaran akan jiwa dan semangat keportugisan mereka tetap hidup, karena melalui mereka Moresco sebagai peninggalan bangsa Moor di Portugal itu diperkenalkan, yang juga mengingatkan saya pada Cafrinho, nyanyian Cape Verde yang dibawa ke Portugal (Da França 1970:22).
Musik keroncong tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari kekayaan budaya yang diwariskan secara turun temurun dalam sejarah musik Indonesia. Pemaparan tentang sejarah keroncong di Indonesia tidak akan bersambung menjadi sebuah mata rantai yang seutuhnya, tanpa meneliti sejarah keberadaan komunitas Tugu dalam melahirkan musik keroncong di kampung Tugu, jauh sebelum keroncong diterima dan menjadi milik bangsa Indonesia.  

Pembahasan
Keroncong merupakan salah satu aliran utama dalam musik Indonesia. Penelusuran terhadap latar belakang sejarahnya diawali dari kedatangan bangsa Portugis pertama kali ke Sunda Kelapa pada tahun 1513, dalam pelayaran mereka dari Malaka ke Maluku untuk mencari rempah-rempah (Cortesão 1944:172). Portugis mendirikan loji-loji mereka di Maluku yang dijaga oleh para laskar Portugis asal Goa, India yang bermarkas di pulau Banda. Pada tahun 1620an setelah kekuatan armada Portugis di Maluku dikalahkan oleh Belanda, sebuah kapal karam di lepas pantai Batavia beserta awak kapal para laskar Goa dengan keluarga mereka asal Banda. Mereka ditangkap oleh Belanda, namun setelah bersedia berpindah agama dari Katolik menjadi Protestan, mereka dibebaskan dan dibuang ke kampung Tugu pada tahun 1661 (Brata 1968:42). Mereka merupakan generasi pertama komunitas Tugu yang mendiami kampung Tugu, dan sebagai bentuk penghargaan, Belanda membangun sebuah gereja untuk mereka (Heuken 1997: 134).
Nama Tugu berasal dari prasasti abad ke-5 peninggalan kerajaan Hindu Tarumanegara yang ditemukan di kampung Tugu, sementara tugu itu sendiri berarti monumen (Heuken, 132). Sebagian penduduk percaya bahwa nama Tugu adalah cuplikan dari Por-Tugu-ese sebagai kampung yang dihuni oleh keturunan Portugis (Abdurachman & Kartakusumah 1992:1).
Komunitas Tugu asal Goa, India merupakan pendukung budaya Portugis, dalam arti mereka tidak hanya mempertahankan bahasa Portugis cristão, namun juga peninggalan musik Portugis dalam bentuk nyanyian Moresco dan Cafrinho, serta keahlian dalam membuat gitar Portugis. Letak kampung Tugu yang terisolasi dari kota Batavia mendorong komunitas Tugu untuk menghidupkan kembali musik Portugis yang mereka miliki. Mereka berhasil membuat gitar Tugu yang diadaptasi dari gitar Portugis cavaquinho membentuk sebuah ensambel yang terdiri dari tiga jenis gitar macina, prounga, dan jitera, masing-masing berdawai lima, dengan dawai di tengah yang lebih tebal disebut bordang. Ensambel Tugu ini berhasil menghidupkan musik Moresco, yang mengingatkan akan peninggalan musik dan tari Moor pada abad ke-13, ketika mereka meninggalkan Portugal setelah turun temurun bermukim di sana sejak abad ke-8. Demikian pula halnya dengan musik Cafrinho, peninggalan musik dan tari para budak kulit hitam dari Cape Verde yang dibawa ke Portugal pada abad ke-14. Ketika para pelaut Portugis berlayar ke timur mencari dunia baru, mereka membawa cavaquinho dan keahlian menyanyikan Moresco dan Cafrinho, yang berhasil mereka wariskan pada orang Goa di India. Portugis menjadikan Goa sebagai kota Roma di Timur, membangun banyak katedral untuk umat Katolik Goa beribadah. Menurut undang-undang Portugal, siapa saja yang beragama Katolik berhak menjadi warganegara Portugis. Untuk itu banyak orang Goa yang kemudian direkrut sebagai laskar Portugis. Jiwa seni yang dimiliki orang Goa pada umumnya membuat mereka mampu berbahasa Portugis, menari dan menyanyikan Moresco dan Cafrinho Portugis, serta membuat gitar Portugis. Demikian pula, para laskar Portugis asal Goa memiliki kesetiaan yang mendalam terhadap jatidiri keportugisan mereka, sehingga menjadi prajurit yang terpercaya untuk menjaga loji-loji Portugis di Maluku.
            Gitar Tugu mengalami perubahan nama, karena fungsinya sebagai pengiring, sehingga bunyi “crong” menjadi dominan, dan selanjutnya dinamakan keroncong. Sejalan dengan popularitas gitar ukelele dari Hawaii yang berdawai empat, maka ensambel gitar Tugu mengalami penyesuaian bentuk orkestrasi, sehingga macina menjadi cuk, prounga menjadi cak, dan jitera menjadi mandolin, yang dilengkapi dengan biola, gitar, cello petik, dan rebana.
Para peneliti menduga bahwa musik keroncong pertama kali lahir di Maluku bersamaan dengan kedatangan laskar Portugis yang membawa cavaquinho ke sana, dan dalam waktu singkat diterima oleh penduduk lokal. Penelitian lain menyimpulkan bahwa popularitas musik keroncong pada awal abad ke-20 bukanlah berasal dari Maluku, melainkan dari kampung Tugu. Dari sanalah Moresco dan Cafrinho dilahirkan kembali, yang kemudian menyebar ke Batavia dan kota besar lainnya yaitu Soerabaja (Ganap 2011:16).
            Moresco menjadi lagu utama dalam setiap pertunjukan keroncong di Pasar Gambir, selain juga dalam perlombaan (concours) keroncong yang diselenggarakan tiap bulan Agustus untuk merayakan penobatan Ratu Belanda Wilhelmina. Notasi Moresco pertama diterbitkan dalam buku yang ditulis oleh A. Th. Manusama tahun 1919, dalam tempo moderato con amore, dengan introduksi dan kalimat awal yang sulit dinyanyikan.

Melodi awal dari Moresco transkripsi Manusama
(Manusama 1919:4a)

Moresco dengan nada tertinggi mencapai E3-D3-B2 dinyanyikan dengan suara falsetto, sebagai adaptasi dari suara nasal penyanyi perempuan Moor yang tidak boleh membuka mulut lebar-lebar di hadapan publik sesuai syariat Islam. Namun penyanyi Portugis tidak dapat menirukan suara nasal, sehingga mereka menggunakan teknik falsetto. Ketika Moresco diperkenalkan di Hindia Belanda, penyanyi pribumi dipaksa falsetto hingga menjerit meski sebenarnya mereka terbiasa dengan suara nasal sesuai tradisi lokal.
            Lirik Moresco mengekspresikan suasana melankolik dari fado Portugis, berupa nyanyian despedida (lagu perpisahan) dan saudade (lagu kerinduan) yang juga mewarnai lirik Melayu dari lagu keroncong selama periode Hindia Belanda. Moresco pada awalnya dinyanyikan dalam bahasa Portugis cristão, namun setelah keroncong menjadi popular di Batavia pada akhir abad ke-19, liriknya dinyanyikan dalam bahasa Melayu, karena pemerintah Hindia Belanda tidak  memberikan toleransi terhadap semua peninggalan budaya Portugis.
            Lirik lagu keroncong pada masa Hindia Belanda memiliki kualitas melankolik seperti halnya Moresco, yang menggambarkan hubungan antar manusia dari berbagai bangsa, ras, agama, dan budaya. Orkestrasi keroncong menegaskan fungsinya sebagai iringan musik dengan pola ritmiknya yang khas melalui petikan cello, diperkaya dengan permainan akor dari cuk, cak, dan gitar, sehingga fungsi biola dan flute lebih banyak membawakan kontra-melodi dan melodi pengisi.
            Pada awal abad ke-20, ketika proses asimilasi keroncong sebagai musik perkotaan mulai berjalan, banyak orkes keroncong bermunculan di Batavia. Sebagai wilayah yang terdekat dari kampung Tugu, kampung Bandan dan kampung Kemajoran merupakan sentra keroncong yang pertama di Batavia. Keroncong Bandan didukung oleh para nelayan Banda yang dibuang ke Batavia dari kampung halaman mereka sejak abad ke-17 dengan lagu utamanya Prounga. Namun nasib keroncong Bandan tidak beruntung seperti halnya keroncong Kemajoran, yang didukung oleh komunitas Indo-Belanda di sana. Salah satu orkes keroncong Kemajoran menamakan diri De Krokodilen (buaya), tampil sebagai pemusik berkeliling dengan penampilan busana dan perilaku  yang menimbulkan keresahan para orangtua yang kuatir anak gadis mereka akan tergila-gila. Sejak itu pemusik yang gila bermain keroncong memperoleh julukan sebagai “buaya keroncong” (Tambayong 2000:74).
            Keroncong sebagai musik perkotaan di Batavia dapat bertahan dan mencapai popularitas disebabkan karena: (1) keroncong adalah jenis musik baru yang bukan klasik Barat maupun gamelan lokal; (2) patronasi yang diberikan pemerintah Hindia Belanda terhadap pemusik keroncong untuk tampil di publik; (3) dukungan komunitas Indo-Belanda yang merasa cocok dengan musik keroncong, karena sesuai dengan selera masyarakat perkotaan yang egaliter; (4) pembuatan gitar keroncong sebagai produk pengrajin Tugu yang memperoleh pangsa pasar dari kelompok orkes keroncong yang terdapat di tiap sudut kota, maupun para pemusik jalanan.
            Pada awal abad ke-20, keroncong juga mulai menyebar dari Batavia ke Soerabaja, yang dimanfaatkan oleh sebuah teater komedi bangsawan yang menggelar pertunjukan mereka bertemakan kisah dari Timur Tengah. Dalam pertunjukan itu, lagu-lagu Portugis digubah sebagai overture atau entr’acte, selain menjadi pengiring pemain sandiwara dalam berperan, menari, bernyanyi dan berkomedi. Ketika teater komedi itu tidak lagi ditampilkan, musik dan lagu keroncongnya tetap dinyanyikan dengan nama Stambul Keroncong, dalam bentuk instrumental maupun lagu-lagu Stambul. 
            Kota Soerabaja pada masa Hindia Belanda juga dikenal dengan Pasar Malam Jaar Markt yang menampilkan pertunjukan dan perlombaan keroncong. Pada tahun 1933, Kusbini dari Jogjakarta menuliskan notasi Moresco gubahannya sendiri, setelah ia acapkali menyaksikan pertunjukan dan perlombaan keroncong di Soerabaja yang menampilkan Moresco. Gubahan Kusbini ditulis dalam tempo andante dengan melodi yang berbeda dari Moresco versi Manusama, namun memiliki karakter yang sama dalam penggunaan motif setengah nada yang menjadi ciri khas sebuah melodi Moresco. Sejarah mencatat bahwa upaya Kusbini menggubah Moresco merupakan momentum yang amat penting dalam proses indonesianisasi musik keroncong. Kusbini melalui karyanya lagu Keroncong Moritsku telah meletakkan dasar bagi lahirnya keroncong sebagai musik Indonesia melalui keberagaman unsur pembentuknya.

Melodi awal dari Keroncong Moritsku gubahan Kusbini
(Kusbini, 1972:41)

Djikalau tuan mendengarkan ini, haraplah supaja, senang di hati
Aaai, memetik gitar, sambil bernjanji, membikin pendengar gembira di hati
Aaai, Krontjong Moritsku aku dendangkan, agar hati rindu mendjadi gembira

            Kusbini menciptakan Moresco dalam bentuk Keroncong Asli sepanjang 28 birama yang diulang kembali dari awal (da capo aria) diselingi dengan interlude instrumental sepanjang 2-3 birama. Orkestrasi dan gaya permainan bentuk Keroncong Asli yang merupakan refleksi dari struktur gamelan Jawa menjadi faktor penentu bagi penetapan jatidiri keroncong sebagai musik Indonesia. Moresco menjadi prototipe dari lagu-lagu Keroncong Asli yang kemudian banyak diciptakan setelah Kusbini. Secara musikologis, Keroncong Asli merupakan satu-satunya bentuk iringan dengan kemandirian bahasa musikal, dalam mendukung ekspresi vokalis secara verbal.
            Namun sejarah mencatat pula bahwa selama masa pendudukan Jepang, keroncong pernah dilarang untuk tampil, karena liriknya yang bersifat menghibur tuan-tuan Belanda, di saat kekaisaran Jepang melalui lembaga kebudayaan rakyat Keimin Bunka Shidosho tengah giatnya melancarkan kampanye anti Sekutu. Beruntung bahwa penguasa militer Jepang menemukan Langgam Keroncong Bengawan Solo yang ditulis oleh Gesang di Surakarta pada tahun 1940, yang liriknya bersifat pastoral menggambarkan keindahan sungai Bengawan Solo. Setelah usai perang, para serdadu Jepang yang telah hafal menyanyikan lagunya dalam lirik bahasa Jepang kemudian membawa pulang lagu itu ke tanah air mereka, dan hingga kini lagu Bengawan Solo dikenal luas oleh masyarakat Jepang. Berbeda dengan Keroncong Asli, Langgam Keroncong berbentuk pantun, namun tetap didukung orkestrasi keroncong dengan pola ritmiknya yang baku, yang menegakkan fungsi generik keroncong sebagai musik pengiring.
           
Penutup
            Lahirnya keroncong merupakan sebuah fenomena interaksi budaya dengan latar belakang kesejarahannya yang unik dan panjang, melibatkan berbagai kultur dan kurun secara diakronik dan sinkronik, yang bersumber dari dua kata kunci, yaitu cavaquinho dan Moresco. Menurut catatan sejarah, puluhan ribu gitar cavaquinho telah dibawa berlayar oleh para pelaut Portugis  untuk menemukan dunia baru, dan memperoleh nama yang berbeda-beda. Ketika dibawa ke Kepulauan Madeira, gitar itu disebut braguinha, karena berasal dari distrik Braga di Portugal. Ketika tiba di Brazil dinamakan machete, karena bentuknya yang lebih kecil dari gitar pada umumnya. Di Karibia dinamakan cuatro, karena berdawai empat. Di Hawaii dinamakan ukelele, karena dimainkan dengan lompatan jari. Selanjutnya di Indonesia dinamakan keroncong, karena berbunyi “crong” apabila dimainkan. Uniknya adalah sejalan dengan menghilangnya cavaquinho di Portugal, dari Hawaii gitar itu muncul kembali dan mendunia (Castelo-Branco, 2002:197).
            Sedangkan Moresco adalah tarian Arab Moor Islam yang diiringi musik gambus al ud dan rebana selama lima abad di selatan Portugal, yang kemudian diterima dan menjadi milik orang Portugis Katolik. Moresco lalu diperkenalkan pada orang Goa di India, dan lahir kembali di Kampung Tugu, yang akhirnya menjadi keroncong Indonesia, sebagai sosok hibrida yang unsur pembentuknya merupakan hasil percampuran budaya Portugis, Belanda, Cina, India, Sunda, Jawa, Ambon, dan Betawi.   
            Keroncong Indonesia merupakan musik peninggalan sejarah dengan karakteristik sebagai berikut: (1) lahir dari ensambel keroncong komunitas Tugu di Jakarta; (2) bentuk orkestrasi dengan warna dawai cuk, cak, gitar, mandolin, biola, dan cello yang dominan; (3) teknik seni iringan menurut pola ritmik tertentu yang menempatkan vokalis pada posisi utama; (4) gaya penampilan coração (dari dalam hati), yang memberikan kebebasan kepada vokalis untuk berekspresi melalui nada-nada hiasan (cengkok) dan tempo yang tertahan (nggandul); (5) repertoar baku Kr.Moritsku untuk jenis Keroncong Asli dan Lgm.Bengawan Solo untuk jenis Langgam Keroncong.   
            Pengertian istilah keroncong telah mengalami perkembangan menurut situasi dan kondisi di Indonesia, sehingga menjadikan bangsa Indonesia memiliki hak atas kekayaan intelektual musik keroncong melalui pertimbangan sebagai berikut: (1) keroncong sebagai alat musik sejenis gitar lahir di Indonesia; (2) keroncong sebagai sebuah bentuk ensambel musik merupakan produk bangsa Indonesia; (3) keroncong sebagai sebuah pola ritmik yang khas merupakan hasil kreasi bangsa Indonesia; (4) keroncong sebagai sebuah permainan melodi yang mengalir (banyu mili) merupakan keberhasilan musikalitas ganda bangsa Indonesia; (5) keroncong sebagai jenis musik hiburan masyarakat perkotaan merupakan diakroni sejarah bangsa Indonesia; (6) keroncong sebagai musik hibrida dengan unsur pembentuknya yang multikultural mencerminkan kebhinekaan bangsa Indonesia; (7) keroncong merupakan istilah Indonesia untuk menamakan jenis musik milik bangsa Indonesia; (8) pengakuan dari para pakar musikologi akan kepemilikan Indonesia terhadap musik keroncong.
            Memasuki abad ke-21 keroncong dapat menatap masa depannya yang cerah melalui dukungan masyarakat dan media massa secara berkelanjutan, berdasarkan fakta tentang: (1) ketahanannya yang telah teruji selama berabad-abad; (2) keunikannya sebagai sebuah genre musikal hasil perpaduan budaya Timur dan Barat; (3) fleksibilitasnya dalam mengakomodasi berbagai warna lokal; (4) keunggulannya dalam memenuhi tuntutan zaman melalui revitalisasi; (5) kemampuannya sebagai musik hiburan yang senantiasa dirindukan oleh para pendukungnya; dan (6) orkestrasinya yang disusun dalam berbagai format tanpa meninggalkan spesifikasinya. Sejarah telah membuktikan bahwa melalui prosesnya yang panjang dalam beradaptasi dan berasimilasi, musik keroncong Indonesia akan tetap terdengar sepanjang masa.

Kepustakaan
Abdurachman & Kartakusumah. 1992. “Keroncong Tugu. Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI.
Becker, Judith. 1976. “Kroncong, Indonesian Popular Music”. Asian Music, VII/1, 14-19.
            Brata, Surja. 1968. “Musik Djakarta”. Budaja Djaja, I/1, 39-46.
            Castelo-Branco, Salwa El-Shawan. 2002. “Portugal”. Stanley Sadie (Ed.). The New Grove           Dictionary of   Music and Musicians. Vol.20. London: Macmillan Publishers, 191-202.
            Cortesão, Armando. 1944. The Suma Oriental of Tomé Pires: an Account of the East, written in   Malacca and India in 1512-1515. London: The Hakluyt Society.
            França, Antonio Pinto Da. 1970. Portuguese Influence in Indonesia. Lisbon: Calouste       Gulbenkian Foundation, in cooperation with Gunung Agung Ltd.
            Ganap, Victor. 2011. Krontjong Toegoe. Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta.
            Haan, Frederik de. 1922. Oud Batavia. Batavia: G. Kolff & Co.
            Heins, Ernst. 1976. “Kroncong and Tanjidor: Two Cases of Urban Folk Music in Jakarta”.           Asian Music, VII/1, 20-29.
            Heuken, Adolf. 1997. Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka.
            Kleden-Probonegoro, Ninuk. 1996. Teater Lenong Betawi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia        dan Yayasan Tradisi Lisan.
            Kornhauser, Bronia. 1978. “In Defence of Kroncong”. Margaret J. Kartomi (Ed). Studies in         Indonesian Music. pp. 104-183. Centre of Southeast Asian Studies, Monash University.
            Kusbini. 1972. “Krontjong Indonesia”. Musika, Jurnal Musikologi dan Koreografi. 1, 20-42.
            Manusama,  A. Th. 1919. Krontjong: als muziekinstrument, als melodie en als gezang. Batavia:   Boekhandel G. Kolff & Co.
            Ricklefs, Merle C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Dharmono Hardjowidjono (Terj.)     Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
            Sachs, Curt. 1963. World History of The Dance. Bessie Schönberg (Terj.). New York: W.W.        Norton & Company Inc.
            Saidi, H. Ridwan. 2001. Babad Tanah Betawi. Jakarta: Gria Media Prima.
Soekiman, Djoko. 2000. Kebudayaan Indies. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya




Tidak ada komentar untuk "Keroncong Indonesia: Identitas dan Sejarahnya"