Jadikan Keroncong Sebagai ‘Musik Semilyar Umat’

oleh: Bens Leo (Penggemar Keroncong Millenium)
makalah disampaikan pada acara Rembug Keroncong Indonesia 2014
(Dokumentasi RKI 2014: Parto Kerontjongers Indonesia)

"Bahwa, sejatinya nyaris tak ada yang orisinal dalam perkembangan Seni Budaya di seantero belahan dunia. Begitu juga dengan Musik Keroncong. Tapi, Identitas Indonesia dalam Musik Keroncong telah ditemukan melalui evolusi dan revolusi.  Berkat kedahsyatan inovasi Pekerja Seni Indonesia."- Bens Leo

Fado, dan Kerontjong Toegoe
            Sejarah Musik Keroncong di Indonesia dibuka dengan jaman pendudukan Belanda pada abad ke 16, tepatnya tahun 1661 - tatkala pelaut dan tentara Portugis bertekuk lutut dari Belanda, dan membawa serta tawanannya dari Goa ( India ) ke kawasan Cilincing, Jakarta Utara, tepatnya di Kampoeng Toegoe. Orang Portugis dan keturunannya yang menetap di Tugu, membawa serta musik Fado, yakni tradisi bertutur dalam bermusik bangsa Portugis yang bertangga nada minor. Karena Belanda mengharuskan bangsa Portugis dan keterununannya yang awalnya beragama Katholik memeluk Agama Kristen Protestan, mulailah terjadi pengenalan tangga nada mayor pada musik.
            Pada awalnya musik keroncong dimainkan dangan alat musik ukulele, rajao ( gitar kecil 3 dawai ), biola, gitar, suling dan perkusi ( tabla ). Di daerah Tugu, Jakarta Utara, komunitas musisi keroncong ini tetap mempertahankan keasliannya, bahkan Andre Juan Michiels yang kabarnya merupakan generasi ke 10 dari Kerontjong Toegoe, telah membentuk Ikatan Keluarga Besar Tugu. Tapi karena perkembangan jaman, juga telah terjadinya pernikahan antar suku dan kepindahan tempat kerja, yang menetap dan mempertahankan musik keroncong di kawasan Tugu, Jakarta Utara itu tinggal sedikit. Masih beruntung, Andre bersama adik dan keluarganya, Arthur, Angel, Tino, Saartje dan keturunannya yang lain, masih memainkankan musik keroncong melalui Sanggar Kerontjong Toegoe dan bahkan mempertahankan area sekitar rumah tinggalnya dalam bentuk yang asli – Rumah Adat Batavia, yang kini oleh Pemda DKI dijadikan sebagai kawasan Cagar Budaya.  
            Musik Keroncong berevolusi dan bekembang melalui para musisi / pencipta lagu / penata musik / penyanyi, terutama mendapatkan habitat yang sangat bagus di Kota Solo, yang kemudian melalui sejumlah pencipta lagu keroncong di Solo, Yogya dan Jawa Tengah umumnya, seperti Gesang (‘Bengawan Solo’), Anjar Any ( ‘Yen Ing Tawang Ono Lintang’ , bahkan Anjar Any dikabarkan memiliki lagu ciptaan diatas 1000 buah jumlahnya ), Kusbini ( ‘Kr Moritsko’ ), Dey Yok Siong ( ‘Gambang Semarang’ ), Darmanto ( ‘Lara Bronto’ ), Ismanto ( ‘Wuyung’, ‘Telaga Sarangan’  ), dll.
Kejuaraan Bintang Radio : Jenis Keroncong
            Pada tahun 1952, Kejuaraan Bintang Radio yang digelar RRI ( juga pernah bekerjasama dengan TVRI menjadui BRTV ) memasukkan genre musik keroncong sebagai bagian dari penjurian buat penyanyi peserta lomba, disamping Jenis Seriosa dan Hiburan ( kini disebut  Jenis Pop ). Pada saat itulah sejatinya peran serta RRI untuk melahirkan penyanyi keroncong, dan membina terus musisi, arranger dan pencipta lagu mulai terlihat digalakkkan. Waldjinah asal Solo yang memenangi penghargaan Penyanyi Terbaik Lomba Lagu kembang Kacang di tahun 1959, akhirnya menjadi Penyanyi Terbaik Kejuaraan Bintang Radio Kategori Keroncong 1965 dan kemudian mengantarnya sebagai Ratu Keroncong Indonesia dan populer lewat superhitnya ‘Walang Kekek’. Waldjinah inilah yang kemudian membuka ruang perkembangan Langgam Keroncong,, karena keahliannya membuat cengkok, suara jernih, tinggi dengan artikulasi yang kuat dalam bahasa Jawa.
            Beberapa penyanyi keroncong yang fenomenal antaralain Mus Mulyadi, Sundari Soekotjo, Tuty Maryati, Anastasia Astutie. Tapi  banyak juga penyanyi pop yang bernain di wilayah musik keroncong  lalu populer, antaralain Hetty Koes Endang, Yuni Shara dan Dewi Yull.
            Kejuaraan Bintang Radio dalam beberapa tahun terakhir memang hanya memberi ruang bagi Penyanyi Jenis Lagu Pop / Hiburan, karena industri rekaman – terutana label rekaman juga industri panggung, termasuk media massa ( televisi – cuma TVRI yang mempertahankan program Gema Keroncong, yang secara rutin diisi oleh Orkes Keroncong pimpinan Koko Thole ). Tak banyak label rekaman memberi ruang lebar bagi perkembangan Genre Musik Keroncong. Setahu saya, hanya Gema Nada Pertiwi, label rekaman yang sampai hari ini masih gigih mempertahankan rekaman Jenis Musiik Keroncong.Label rekaman yang lain, ‘hidup segan mati tak mau’.  Untunglah, awarding musik berskala Nasional, di bawah Yayasan Anugerah Musik Indonesia, saban tahun masih menyiapkan trophy pemenang Kategori Keroncong, karena di tengah sepi senyapnya industri musik keroncong, saban tahun toh tetap ada album keroncong yang dirilis, dengan penyanyi yang berbeda. Koko Thole setidaknya memiliki 3 trophy Anugerah Musik Indonesia,
            Dari Kejuaraan Bintang Radio, acap kali kita juga mendengar dan melihat, beberapa arranger dan conductor hadir melakukan pembaharu untuk musik keroncong, karena – tatkala masih dipertandingkan Jenis Musik Keroncong di Kejuaraan Bintang Radio – peserta penyanyi muda hadir juga. Beberapa conductor / arranger pembaharu setelah era Suwanto Suwandi,  muncul  nama Didi SSS.
Inovasi ‘Diluar Pakem’
            Untuk menyiasati agar tidak terjadi benturan pendapat dan gugatan dari penganut ‘ajaran keroncong murni’, beberapa pengamat, penulis buku tentang Keroncong, memberanikan diri membagi 4 Era, dengan berbagai sebutannya :
1.     Era Keroncong Tempo Doeloe ( 1880 – 1920 )
2.     Era Keroncong Abadi ( 1920 – 1960 )
3.     Era Keroncong Modern ( 1960 – 2000 )
4.     Era Millennium ( 2000 – sekarang ).
Sejatinya, pada tiap era telah terjadi perkebangan yang menarik adri musik Keroncong di Indonesia, baik dalam bentuk evolusi yang lamban, tapi juga revolusi yang berani dan dahsyat. Yang lamban seringkali hanya terjadi melalui perkembangan instrumentasi atau cara memainkannya, seperti penggunaan cello yang tidak digesek seperti lazimnya pemusik ‘Barat’ memainkan alat musik berdawai ini, tapi pada keroncong cello dipetik ( pizzicato ), hingga fungsinya bisa seperti bunyi bas gitar. Musik keroncong juga menyasar pada wilayah musik etnik, pentatonik gamelan misalnya, menampilkan instrumen bagian dari gamelan Jawa, seperti yang dilakukan Anjar Any atau alm Gesang, dengan penyanyi Waldjinah,  Mus Mulyadi juga penyanyi serba bisa. Sruti Respati ( juga ) dari Solo.
Di Kawasan tanah Betawi, keroncong bermetamorfosa dengan Gambang keromong dan Tanjidor, yang juga ada kultur musik Cinanya, perhatikan aransemen ala Betawi buat lagu ‘Jali Jali’. Di kawasan Gunung Kidul, Manthous membuat kejutan dengan melahirkan musik Campursari, yang memadukan basic keroncong dengan bunyi gamelan, juga brass section ( musik tiup ) dengan – antaralain - mengajak kerjasama penyanyi yang memiliki gestur lidah Jawa, Didi Kempot. Demam Campursari ini mematahkan anggapan, bahwa hanya label besar ( major label ) yang menjual kaset jutaan keping, musik Campursari ternyata juga menguasai pasar musik indie, melalui menjualannya yang fantastis dan cara direct selling, bermain  di kampung-kampung ( terutama ) di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Campursari juga merambah bumi Suriname, negara yang penduduk dan Pemerintahnya dipimpin oleh warga berdarah Jawa,  
Di tingkat Nasional, melalui industri rekaman, Koes Plus membuat sejarah dengan menjadikan beberapa album rekamannya Pop Rock Keroncong terjual lairis manis, lagunya jadi hits, dengan membuat paduan musik keroncong dengan musik pop dan rock.  Keroncong dengan unsur rock yang kuat, juga digerakkkan oleh sekelompok musisi keroncong pambaharu dari Semarang, Congrock. Saya pernah menonton Congrock bermain di depan ribuan penonton muda di PRPP Semarang. Marco pimpinan Congrock menyebut, karena konsistensinya mempertahankan Congrock, tahun 2008 Congrock mendapat penghargaan dari MURI. Padahal grup keroncong dengan ornamen riock- berdiri 17 Maret 1983 - ini pernah dianggap pemusik ‘keroncong murni’ sebagai kelompok musisi yang ‘menyebal dari pakem keroncong’.
Masih dari jagad rekaman, tak kalah menarik adalah gagasan Erwin Gutawa sewaktu meminta Waldjinah menjadi bintang tamu rekaman alm Chrisye yang dirilis Musica Studio’s pada tahun 2000-an.
Pada musik keroncong, beberapakali kita juga menjumpai inovator melalui grup keroncongnya, seperti Orkes Tetap Segar pimpinan Rudi Pirngadi, Tetap Segar tahun 1959 sudah memainkan ‘keroncong beat’ dengan membuat aransemen yang segar pada lagu-lagu ‘Barat’ yang jadi hits saat itu. Hal yang sama juga dilakukan Hawaiian Senior pimpinan alm Jenderal Hoegeng, yakni banyak memanikan lagu Barat dengan backing tarian Hawaiian.
Tahun 2008, tatkala Kota Surakarta masih dipimpin Joko Widodo, Solo International Keroncong Festival digelar, kecuali diikuti oleh beberapa negara tetangga, banyak para inovator musik keroncong datang dari Surabaya dan Jawa Tengah. Di Solo, anak-anak pelajar SMP menghibur alm Gesang dengan memainkan musik keroncong, tatkala beliau masih sakit, Di kota Malang, juga ada komunitas anak muda pemain musik keroncong, dengan warna modern, bahkan mungkin ‘Keroncong Millennium” seperti yang dilakukan Bondan Prakoso and Fade 2 Black, takala membedah lagu ‘Bengawan Solo’ ciptaan Gesang dengan memasukkan musik rock, hip-hop / rap, dan permainan yang ‘non instrumen keroncong’ melalui lagu ciptaanntya ‘Kroncong Protol’. Lagu ini dimainkan hanya memakai instrumen bas gitar, gitar elektrik, drum.....Suatu saat, sewaktu akan memberikan donasi pada Ibu Waldjinah dan Pak Gesang mewakili Yayasan Charity Club Indonesia, saya dan Ati Ganda serta Trans TV, mendapati pernyataan alm Gesang tentang ‘Kroncong Protol’,”Saya menghargai dan senang pada upaya Bondan Prakoso mendekatkan keroncong pada anak muda dengan membuat aransemen Bengawan Solo macam itu, saya dengar langsung dari dia, “ kata alm Gesang, beberapa pekan sebelum wafat. Dokumentasi wawancara itu tersimpan di file Trans TV, Jakarta.
Peran Serta ‘Umat Keroncong’
            Pada perhelatan Jakarta Fair 2003, takala saya ditugasi untuk menggarap Panggung Musik dalam rangka Ultah Jakarta, saya membuat 3 panggung besar untuk pergelaran musik Jakarta Fair 2013 sepanjang 32 hari, Panggung Utama untuk Musik Mainstream ( Pop, Rock, Dangdut ) yang telah memasuki industri rekaman dan panggung besar. Panggung Kedua kami bangun untuk menampung Musik Eksploratif dan Indie, seperti band Krakatau, Musikalisasi Puisi Rendra, Indra Lesmana dan band jazz-nya, Harry Roesli, Renny Djajoesman & band juga band-band indie – kebanyakan asal Bandung. Panggung Ketiga kami bangun untuk memberi ruang kreatif para Musisi Tradisional dan yang berkarakter Indonesia, seperti Campursari, Keroncong dan mengundang pula Kerontjong Toegoe, Tanjidor, . Beberapa grup keroncong saat itu sudah melakukan eksplorasi menarik, seperti memainkan paduan musik keroncong asli dengan musik rock, jazz dan genre musik lain. Sundari Soekotjo menampilkan anaknya yang masih di bawah 10 tahun, Kerontjong Toegoe bermain dengan formasi lengkap, sebagian besar bersaudara.
            Diluar dugaan, panggung yang menampilkan keroncong juga tidak minim penonton. Magnetnya terletak pada penampilan yang beda dan beragam. Di Panggung Musik ( Daerah ) Tradisional ini, justru mudah didapati beragam genre musik, termasuk ada keroncong. Ada congrock, congdut, congjazz, conrap juga Campursari lengkap dengan gamelan dan brass section-nya. Itulah – antaralain – peran saya dan kawan-kawan. Dan tak ada satu orang pun yang marah, tatkala keroncong tidak main di wilayah pakemnya. Karena semua sadar, ini merupakan upaya besar agar anak muda bisa dan mau mendengar dan melihat Keroncong sebagai Musik Semilyar Umat, seperti upaya Guruh Sukarnoputra mengajak anak muda kembali mendengar gamelan Bali dengan merekam dan merilis album Guruh Gipsy yakni rekaman paduan musik diatonik rock ( Barat ) dengan pentatonik ( gamelan Bali ) pada tahun 1976.
            Menutup makalah ini, ijinkan saya mengutip percakapan alm Anjar Any dengan Antonio Plato - konsuler Portugal di Indonesia pada tahun 1969, apakah di Purtugal ada musik keroncong? Dan dijawab Plato, “Tidak ada, apalagi seperti musik keroncong yang sehebat Keroncong Indonesia....” Dan,  musikus dan dosen musik Suka Hardjana mengatakan, salah satu musik asal Indonesia yang elemen orisinmalitasnya tinggi adalah musik Keroncong, “Perkara saling pengaruh itu sah saja, di dunia seni budaya itu nyaris gak ada yang murni orisinal, “ kata Suka Hardjana,.  

Referensi : Victor Ganap, Erie Setiawan, Trioindra - wikipedia dan wawancara dgn Narasumber
           

Tidak ada komentar untuk "Jadikan Keroncong Sebagai ‘Musik Semilyar Umat’"